Selasa, 20 September 2011

FUNGSI PSIKOLOGI


PERSEPSI DAN SENSASI
Oleh : Eka Chandra Oktaviani
A.     Persepsi
            Persepsi adalah suatu proses aktif setiap orang dalam  memperhatikan, meng-organisasikan dan menafsiran semua pengalaman secara efektif. Persepsi merupakan prinsip pengorganisasian berdasarkan teori Gestalt. Teori Gestalt percaya bahwa persepsi bukanlah hasil penjumlahan bagian-bagian yang diindera seseorang, tetapi lebih dari itu merupakan keseluruhan [the whole]. Teori Gestalt menjabarkan beberapa prinsip yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu bentuk persepsi.
            Prinsip persepsi yang utama adalah prinsip figure and ground. Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia, secara sengaja maupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang menjadi fokus atau bentuk utama (figure) dan mana yang menjadi latar (ground).
            Contoh gambar kuda dan wajah perempuan, menunjukkan bahwa seseorang dapat menjadikan bentuk wajah perempuan sebagai figure, dan detil yang lain sebagai ground, atau sebaliknya. 

           Di samping faktor kejelasan stimulus (misalnya, suara yang jernih, gambar yang jelas), kekayaan sumber stimulus (misalnya, media multi-channel seperti audio-visual), persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi atau pesan atau stimulus dipersepsikan.
           Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
1.     Ketersediaan informasi sebelumnya
Ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, sering terjadi  choose sebuahdalam mempersepsikan sesuatu.
2.     Kebutuhan
Seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu.
3.     Pengalaman masa lalu
Pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu.
           Faktor psikologis lain yang juga penting dalam persepsi adalah berturut-turut: emosi, impresi dan konteks.
1.     Emosi
Akan mempengaruhi seseorang dalam menerima dan mengolah informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan perhatiannya (menjadi figure) adalah emosinya tersebut.
2.     Impresi
Stimulus yang salient / menonjol, akan lebih dahulu mempengaruhi persepsi seseorang.
3.     Konteks
Konteks bisa secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks memberikan ground yang sangat menentukan bagaimana figure dipandang. Fokus pada figure yang sama, tetapi dalam ground yang berbeda, mungkin akan memberikan makna yang berbeda.

A.   Sensasi
Sensasi berasal dari kata “sense” yang artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Menurut Dennis Coon, “Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal. Simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.” . Sensasi merupakan fungsi fisiologis juga sama dengan persepsi.Seperti yang kita tahu persepsi merupakan konsep yang sangat penting dalam psikologi, kalau bukan dikatakan yang paling penting. Melalui persepsilah manusia memandang dunianya. Apakah dunia terlihat berwarna cerah, pucat, atau hitam, semuanya adalah persepsi manusia yang bersangkutan. Persepsi harus dibedakan dengan sensasi  dan lebih banyak tergantung pada kematangan dan berfungsinya organ-organ sensoris. Sensasi meliputi fungsi visual, audio, penciuman dan pengecapan, serta perabaan, keseimbangan dan kendali gerak. Kesemuanya inilah yang sering disebut indera.
Jadi dapat dikatakan bahwa sensasi adalah proses manusia dalam dalam menerima informasi sensoris (energi fisik dari lingkungan) melalui penginderaan dan menerjemahkan informasi tersebut menjadi sinyal-sinyal “neural” yang bermakna. Misalnya, ketika seseorang melihat (menggunakan indera visual, yaitu mata) sebuah benda berwarna merah, maka ada gelombang cahaya dari benda itu yang ditangkap oleh organ mata, lalu diproses dan ditransformasikan menjadi sinyal-sinyal di otak, yang kemudian diinterpretasikan sebagai “warna merah”.
Berbeda dengan sensasi, persepsi merupakan sebuah proses yang aktif dari manusia dalam memilah, mengelompokkan, serta memberikan makna pada informasi yang diterimanya. Benda berwarna merah akan memberikan sensasi warna merah, tapi orang tertentu akan merasa bersemangat ketika melihat warna merah itu.





Daftar pustaka :
·         Gazali, M.A. dan H. Birkenfeld.1977.Ilmu Jiwa. Bandung : Ganaco N.V.
·        Brennan, James F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
·        Ahmadi, abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA.




SEXSUALITAS REMAJA

BAB I
Pendahuluan

A.     Latar Belakang Masalah
Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.
Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah.Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama. DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan.     
      Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah.
Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.Tahun 2006, PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri.Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.
      Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekira 42 juta jiwa, berarti sekira 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja).Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta.Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi.Penelitian Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.
Dari hasil penelitian tersebut betapa mirisnya perilaku remaja khususnya Indonesia hari ini.
Pemahaman dan kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi pada remaja masih rendah, dan beberapa diantaranya pemahaman tersebut tidak tepat. Masyarakat dan keluarga masih enggan untuk membicarakan masalah reproduksi secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat. Anak dan remaja lebih merasa nyaman mendiskusikannya secara terbuka dengan sesama teman. Pembahasan kesehatan reproduksi dari sudut nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang menganggap masalah kesehatan reproduksi remaja sebagai hal yang tabu justru lebih populer dibanding dengan pemahaman pentingnya untuk mengetahui dan mendiskusikan secara benar tentang masalah kesehatan reproduksi remaja. Padahal pengetahuan para remaja yang secara tepat dan benar tentang masalah kesehatan reproduksi sangat penting. Pengetahuan tersebut diperlukan untuk mendukung: a) upaya meningkatkan status kesehatan reproduksi remaja, dan b) pengendalian angka kelahiran melalui pengaturan usia kawin. Perlu adanya antisipasi dengan gerak cepat agar hal ini tidak terus terjadi. Maka dari itu harus ada cara atau metode-metode khusus untuk mencegah prilaku tersebut.
B.     Rumusan Masalah
 Dari latar belakang tersebut dapat kita rumuskan beberapa point penting untuk mengantisipasi bahakan mencegah terjadinya pertambahan perilaku yang kurang baik di dalam remaja saat ini. Diantaranya :
·         Pembahasan mengenai sexsualitas
·         Pembahasan mengenai metode-metode penyuluhan
·         Penyuluhan yang lebih tepat untuk remaja
C.     Tujuan
Setelah mengetahui rumusan masalahnya maka dari bisa mengetahui bagaimana cara yang paling pas untuk memberikan penyuluhan kepada para remaja dewasa ini mengenai sec bebas. Diharapkan dengan cara tersebut kita bisa mengantisipasi bahkan mencegah maraknya perilaku sex bebas dikalangan remaja dan memberi pemahaman serta pengetahuan tentang kesehatan repruduksi dan sexsualitas.


BAB II
ISI

A.     Pembahasan Mengenai Sexsualitas
Pemahaman remaja akan kesehatan reproduksi menjadi bekal bagi remaja dalam berperilaku sehat dan bertanggung jawab. Namun belum semua remaja memperoleh informasi yang cukup dan benar tentang kesehatan reproduksi. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman ini dapat membawa remaja ke arah perilaku berisiko. Anggapan remaja bahwa jika melakukan hubungan seks hanya sekali tidak mungkin terjadi kehamilan, merupakan cermin bahwa ia belum memahami proses terjadinya kehamilan. Konsekuensi hubungan seks pra‐nikah tidak berhenti pada masalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) saja. Masalah psikhis yang seringkali mengiringinya adalah rasa berdosa, malu, tertekan (depresi), bahkan ingin bunuh diri. Disamping itu seringkali ada dorongan yang kuat untuk melakukan tindakan aborsi.
Permasalahan seksualitas lainnya yang sering dialami remaja adalah orientasi seksual (sexual orientation, seperti: homoseksual, heteroseksual dan biseksual) dan kelainan perilaku seksual (sexual disorders, seperti: vayourisme, fetihisme, sadisme, machosisme, dll). Perilaku tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana remaja cenderung meniru perilaku teman sekitarnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proses konseling kepada remaja yang mengalami masalah seksualitas menjadi sangat sensitif dan kompleks. Tidak hanya mencakup masalah moral dan agama saja, tetapi juga masalah
keharmonisan komunikasi dalam keluarga serta nilai‐nilai dalam masyarakat.
      Seksualitas adalah segala sesuatu yang menyangkut dan sikap berkaitan dengan
perilaku seksual maupun orientasi seksual. Kata seksualitas berasal dari kata dasar seks, yang memiliki beberapa arti, yaitu:
1. Jenis Kelamin: keadaan biologis manusia yang membedakan laki dan perempuan. Istilah jenis kelamin berbeda dengan jender. Jender adalah pembedaan jenis kelamin berdasarkan peran yang dibentuk oleh masyarakat/budaya tertentu (misalnya perempuan‐lembut, laki‐laki kasar).
2. Reproduksi Seksual: Membuat bayi. Bagian‐bagian tubuh tertentu laki maupun perempuan bisa menghasilkan bayi dengan kondisi‐kondisi tertentu. Bagian tubuh itu disebut alat atau organ reproduksi. Organ reproduksi laki‐laki dan perempuan berbeda karena punya fungsi yang berbeda.
3. Organ reproduksi: organ reproduksi lakilaki dan perempuan terdiri atas organ bagian luar dan bagian dalam. Organ reproduksi perempuan antara lain vagina dan rahim; sedangkan organ laki‐laki antara lain penis dan testis.
4. Rangsangan Atau Gairah Seksual: rangsangan seksual dapat disebabkan perasaan tertarik sekali (seperti magnit) pada seseorang sehingga terasa ada getaran “aneh” yang muncul dalam tubuh.
5. Hubungan Seks: Hubungan seks (HUS) terjadi bila dua individu saling merasa terangsang satu sama lain (dapat terjadi pada lain jenis maupun pada sejenis) sampai organ seks satu sama lain bertemu dan terjadi penetrasi.
6. Orientasi seksual (sexual orientation) adalah kecenderungan seseorang mencari pasangan seksualnya berdasarkan jenis kelamin. Ada tiga orientasi seksual :
·      Heteroseksual (tertarik pada jenis kelamin yang berbeda).
·      Homoseksual (tertarik pada jeniskelamin yang sama: gay pada laki-laki, lesbian pada perempuan).
·      Biseksual (tertarik pada dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan).
7. Kelainan Perilaku Seksual (sexual disorders) adalah kecenderungan seseorang untuk memperoleh kepuasan seksual melalui tingkah laku tertentu. Misalnya:
·      Vayourisme
·      Fetihisme
·      Sadisme        : memperoleh kepuasan seksual dengan melukai/menyiksa pasangannya
·       Machosisme : memperoleh kepuasan seksual dengan melukai diri sendiri
Setelah mengetahui tentang beberapa istilah sexsualitas maka kita harus mengenal subjek kita yaitu Masa puber (masa dimana seseorang mengalami perubahan struktur tubuh: dari anakanak menjadi dewasa).Masa pubertas ditandai dengan kematangan organ-organ reproduksi, baik organ reproduksi primer (produksi sperma, sel telur) maupun sekunder (kumis, rambut kemaluan, payudara, dll). Awal masa puber berkisar antara 13-14 tahun pada laki-laki, dan 11-12 tahun pada perempuan (lebih cepat daripada laki-laki). Pubertas berakhir sekitar umur 17-18 tahun. Batasan umur ini tidak mutlak karena kondisi tubuh masing-masing orang berbeda. Ada laki-laki atau perempuan yang mengalami masa puber lebih cepat, ada yang terlambat. Faktor yang mempengaruhi antara lain adalah gizi,lingkungan keluarga, dll. Karena perubahan yang terjadi banyak dan cepat, perasaan dan emosi remaja akan terpengaruh.
Tubuh mengalami perubahan kerja hormon. Perubahan terjadi karena hypothalamus (pusat pengendali utama otak) bekerja sama dengan kelenjar bawah otak mengeluarkan hormone-hormon tertentu, antara lain hormon estrogen dan testosteron. Pada perempuan, yang dominan adalah hormon estrogen dan pada laki-laki yang dominan adalah hormon testosteron.Pada perempuan, hormon estrogen membuat seorang anak perempuan memiliki sifat kewanitaan setelah remaja. Sedangkan hormon progesteron efeknya yang utama adalah melemaskan otototot
halus, meningkatkan produksi zat lemak di kulit, mempertebal dinding di dalam rahim dan merangsang kelenjar-kelenjar agar mengeluarkan cairan pemupuk bagi sel telur yang dibuahi.
Pada laki-laki, hormon testosteron dihasilkan oleh kelenjar prostat. Hormon ini ada di dalam darah dan mempengaruhi alat-alat dalam tubuh serta menyebabkan terjadinya beberapa pertumbuhan seks primer.Karena di masa puber hormone-hormon seksual berkembang dengan pesat, remaja sangat mudah terangsang secara seksual. Pada laki-laki,reaksi dorongan seks adalah mengerasnya penis (ereksi). Karena belum stabilnya hormon di dalam tubuh, ereksi bisa muncul tanpa adanya rangsangan seksual. Kondisi yang sering kali muncul secara tak terduga ini bisa membuat remaja laki-laki salah tingkah (kebingungan menyembunyikan tonjolan di celana gara-gara ereksi).
      Pada masa-masa inilah kita harus bisa memberikan penyuluhan secara intensif untuk mereka dan membawa mereka pada pemahaman agar mereka tidak melakukan kesalahan dalam hidup mereka. Memberi tahu mereka dampak-dampak yang akan terjadi mengenai sex bebas, hamil sebelum waktunya,aborsi,penyakit menular sexsual dan apa yang harus mereka lakukan.
B.     Pembahasan Mengenai Metode Penyuluhan
      Penyuluhan kita ambil sebagai cara dan jalan yang tepat untuk mendapatkan hasil klimaks dari para remaja sehingga menimbulkan efek yang berpengaruh pada kehidupan mereka apalagi untuk mengetahui “Apa itu seksualitas?”. Beberapa metode penyuluhan dilihat dari klasifikasinya, yaitu :
·         Berdasarkan media
Ø  Lisan
Ø  Cetak
Ø  Terproyeksi
·         Berdasarkan Hubungan penyuluh dengan sasaran
Ø  Komunikasi secara langsung
Ø  Komunikasi tidak langsung
·         Berdasarkan psikososial sasaran
Ø  Pendekatan perorangan
Ø  Pendekatan kelompok
Ø  Pendekatan missal
Penyuluhan berbeda dengan pemberian nasehat. Penyuluhan berpedoman pada pandangan bahwa pengambilan keputusan adalah tanggung jawab klien. Seorang konselor bukan yang mengatur, mengkritik atau membuat keputusan yang kemungkinan tidak diterapkan oleh klien setelah pertemuan konseling. Ia menjadi mitra/rekan dari klien, tetapi klien lah yang paling tahu dunianya sehingga dialah pembuat keputusan. Dalam pemberian nasihat, pemberi nasihat berperan seakan ia seorang “ahli” dan memikul tanggung jawab lebih besar terhadap tingkah laku/tindakan klien. Konseling bisa terjadi tidak hanya antara 2 orang yang saling bertatap muka,
namun ada pula konseling yang dilakukan terhadap keluarga atau family konseling. Prinsip dasar yang digunakan sama dengan konseling individu, namun perlu pendekatan khusus karena situasinya lebih kompleks dan yang perlu dibantu adalah keluarga sebagai suatu kesatuan yang efektif.
C.     Penyuluhan Yang Paling Tepat Untuk Remaja
Setelah mengetahui beberapa metode penyuluhan secara klasifikasinya maka bisa kita tarik beberapa metode yang lebih pas untuk remaja. Penyuluhan terhadap remaja ini adalah suatu proses tatap muka dimana seorang konselor membantu remaja untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya. Oleh sebab itu dalam penyuluhan harus terjadi hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka, pemberdayaan klien agar mampu mengambil keputusannya sendiri. Untuk itu sebagai contoh dilakukan penelitian. Jenis penelitian ini adalah true eksperimental dengan rancangan pretest-posttest control group design.
Sampel sebesar 90 orang yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok eksperimen I diberi perlakuan penyuluhan dengan metode ceramah sebanyak 30 orang, kelompok eksperimen II diberi perlakuan penyuluhan dengan metode diskusi kelompok sebanyak 30 orang dan kelompok kontrol tanpa perlakuan sebanyak 30 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata selisih skor pengetahuan tertinggi terjadi pada kelompok yang mendapat perlakuan penyuluhan dengan metode diskusi kelompok sebesar 6,30 dengan standar deviasi 2,96, sedangkan rata-rata selisih skor pada kelompok yang mendapat perlakuan penyuluhan dengan metode ceramah sebesar 4,03 dengan standar deviasi 2,14. Demikian juga pada variable sikap, penyuluhan dengan metode diskusi kelompok menunjukkan peningkatan skor lebih tinggi yaitu sebesar 13,60 dengan standar deviasi 7,77 dibanding peningkatan skor pada kelompok yang mendapat perlakuan dengan metode ceramah yaitu sebesar 7,87 dengan standar deviasi 5,73. Hasil uji Anova dengan uji lanjut Tamhane (T2) menunjukkan bahwa metode diskusi kelompok lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan (P=0.004) dan sikap (P=0.028) tentang kesehatan reproduksi pada remaja.
Disarankan kepada para konselor / penyuluh agar menggunakan metode diskusi kelompok dalam melakukan penyuluhan kesehatan reproduksi pada remaja dan sexsualitas untuk mencapai hasil yang optimal. Selain itu yang lebih bisa memberikan kesan informal dan menarik serta tidak ada kecanggungan dari para remaja untuk menerima pemahaman-pemahaman mengenai seksualitas ada konselor sebaya nisa lebih efektif bagi mereka.
Laursen (2005 : 137) menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993 : 154) Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004 : 414) menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005 : 240) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan (attachment). Penelitian lain menemukan remaja yang memiliki hubungan dekat dan berinteraksi dengan pemuda yang lebih tua akan terdorong untuk terlibat dalam kenakalan, termasuk juga melakukan hubungan seksual secara dini (Billy, Rodgers, & Udry, dalam Santrock, 2004 : 414). Sementara itu, remaja alkoholik tidak memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya dan memiliki kesulitan dalam membangun kepercayaan pada orang lain (Muro & Kottman, 1995 : 229). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius, dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000 : 5).
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal. Anak pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan drop out dari sekolah. Gladding (1995 : 113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja.
Konseling sebaya merupakan suatu bentuk pendidikan psikologis yang disengaja dan sistematik. Konseling sebaya memungkinkan untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja. Secara khusus konseling teman sebaya tidak memfokuskan pada evaluasi isi, namun lebih memfokuskan pada proses berfikir, proses-proses perasaan dan proses pengambilan keputusan. Dengan cara yang demikian, konseling sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect. (Carr, 1981 : 4).
Terdapat sembilan area dasar yang memiliki sumbangan penting terhadap perlunya dikembangkan konseling teman sebaya (Carr, 1981 : 5-12) :
1) Hanya sebagian kecil siswa yang memanfaatkan dan bersedia berkonsultasi langsung dengan konselor. Para siswa lebih sering menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber yang diharapkan dapat membantu pemecahan masalah yang mereka hadapi. Para siswa tetap menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber pertama dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan pribadi, perencanaan karir, dan bagaimana melanjutkan pendidikan formal mereka.
2) Berbagai keterampilan yang terkait dengan pemberian bantuan yang efektif dapat dipelajari oleh orang awam sekalipun, termasuk oleh para-profesional (Carkhuff, 1969), dapat dikuasai oleh para siswa SMP (Carr, McDowell and McKee, 1981), para siswa SMA (Carr and Saunders, 1979), bahkan oleh para siswa Sekolah Dasar (Bowman and Myrick, 1981). Pelatihan konseling sebanya itu sendiri juga dapat merupakan suatu bentuk treatment bagi para “konselor” sebaya dalam membantu perkembangan psikologis mereka.
3) Berbagai penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa di kalangan remaja, kesepian atau kebutuhan akan teman merupakan salah satu di antara lima hal yang paling menjadi perhatian remaja. Hubungan pertemanan bagi remaja sering kali menjadi sumber terbesar bagi terpenuhinya rasa senang, dan juga dapat menjadi sumber frustrasi yang paling mendalam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa teman memungkinkan untuk saling bantu satu sama lain dengan cara yang unik dan tidak dapat diduga oleh para orang tua dan para pendidik. Para siswa SMA menjelaskan seorang teman sebagai orang yang mau mendengarkan, mau membantu, dan dapat berkomunikasi secara mendalam. Persahabatan ditandai dengan kesediaan untuk dapat saling bantu (dapat menjadi penolong) satu sama lain.
4) Dasar keempat penggunaan siswa untuk membantu siswa lainnya muncul dari penekanan pada usaha preventif (Albee dan Joffe, 1981) dalam gerakan kesehatan mental dan penerapan konseling preventif (Carr, 1976) dalam setting sekolah. Program prevensi memiliki dua level tujuan yaitu: 1) kebutuhan untuk memperkuat (atau imunisasi) siswa dalam menghadapi pengaruh-pengaruh yang membahayakan (melalui pemberian keterampilan pemecahan masalah secara lebih efektif), dan 2) pada saat yang sama mengurangi insiden faktor-faktor destruktif secara psikologis yang terjadi dalam lingkungan misalnya dengan mengeliminasi lingkungan yang kurang mendukung.
5) Siswa perlu memiliki kompetensi (menjadi kuat), perlu kecerdasan (bukan akademik, tetapi memahami suasana), pengambilan peran tanggung jawab (menjadi terhormat) dan harga diri (menjadi bermakna dan dapat dipahami). Para siswa memahami bagaimana kuatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sebagian orang tua kurang memahami keadaan ini, sehingga remaja sering kali mencari sesama remaja yang memiliki perasaan sama, mencari teman yang mau mendengarkan, dan bukan untuk memecahkan atau tidak memecahkan problemnya, tetapi mencari orang yang mau menerima dan memahami dirinya.
6) Suatu issue kunci pada masa remaja adalah kemandirian (independence), tetapi sebagaimana dijelaskan Ivey (1977), adalah suatu hal yang penting bagi orang dewasa untuk memahami kemandirian dalam kaitannya dengan perspektif budaya teman sebaya. Sebagai contoh, Goleman (1980) telah menemukan bahwa bagi remaja laki-laki, independensi berarti kebebasan dari pengekangan atau pembatasan-pembatasan tertentu. Sedangkan bagi remaja perempuan, independensi berarti suatu kebebasan internal, atau kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan kesempatan untuk memiliki beberapa kemandirian yang berkaitan dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran seseorang.
7) Secara umum, penelitian-penelitian yang dilakukan tentang pengaruh tutor sebaya (Allen, 1976; Gartner, Kohler and Reissman, 1971) menunjukkan bahwa penggunaan teman sebaya (tutor sebaya) dapat memperbaiki prestasi dan harga diri siswa-siswa lainnya. Beberapa siswa lebih senang belajar dari teman sebayanya.
8) Peningkatan kemampuan untuk dapat membantu diri sendiri (self-help) atau kelompok yang saling membantu juga merupakan dasar bagi perlunya konseling sebaya. Pada dasarnya, kelompok ini dibentuk oleh sesama teman (sebaya) yang saling membutuhkan dan sering tidak terjangkau atau tidak mau menggunakan layanan-layanan yang disediakan oleh lembaga. Di antara teman sebaya mereka berbagi dan memiliki perhatian yang sama, serta bersama-sama memecahkan problem, menggunakan dukungan dan katarsis sebagai intervensi pemecahan masalah.
9) Landasan terakhir dari konseling sebaya didasarkan pada suplai dan biaya kerja manusia. Layanan-layanan profesional dari waktu ke waktu terus bertambah, dengan ongkos layanan yang semakin tak terjangkau oleh sebagian remaja. Sementara itu problem remaja terus meningkat dan tidak semua dapat terjangkau oleh layanan formal. Berbagai problem yang dialami remaja perlu disikapi dengan membentuk layanan yang dapat saling bantu di antara remaja itu sendiri. Para siswa (remaja) secara umum lebih banyak tahu dibandingkan dengan orang dewasa ketika remaja lain sedang mengalami masalah, dan dapat lebih akrab serta lebih spontan dalam mengadakan kontak.
Ø  Beberapa syarat seorang konselor sebaya:
1. Berpengalaman sebagai pendidik remaja.
2. Mempunyai minat yang sungguh-sungguh untuk membantu klien
3. Terbuka pada pendapat orang lain
4. Menghargai dan menghormati klien
5. Peka terhadap perasaan orang dan mampu berempati
6. Dapat dipercaya dan mampu memegang rahasia
7. Perasaan stabil dan kontrol diri yang kuat
8. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai :
a. Seksualitas yang meliputi tumbung kembang remaja, alat, system dan proses reproduksi, konsekuensi hubungan sex pra nikah ; kehamilan.
b. HIV/AIDS dan PMS
c. NAPZA
9. Memiliki ketrampilan dalam :
a. Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan menimbulkan rasa percaya klien terhadap konselor
b. Melakukan komunikasi interpersonal, yaitu hubungan timbale balik yang bercirikan :
1) Komunikasi dua arah
2) Memperhatikan aspek verbal dan non verbal
3) Mendengar secara aktif
4) Penggunaan pertanayaan untuk menggali informasi, perasaan dan pikiran.
5) Membantu klien dalam pengambilan keputusan.
Ø  Sikap Konselor / Penyuluh :
S = Smile
Duduk menghadap ke klien berikan anggukan atau senyuman.
O = Open and Non Judgemental facial expression
Expresi muka menunjukan sikap terbuka dan tidak menilai.
L = Lean towards Client
Tubuh condong ke klien
E = Eye contact
Kontak sesuai cara yang diterima budaya setempat
R = Relaxed and Friendly manner
Santai dan sikap bersahabat.
Ø  Langkah-Langkah Konseling / penyuluhan sebaya
SA : Salam, memberi perhatian dan menciptakan hubungan dan situasi nyaman.
T : Tanya, mengajukan pertanyaan untuk mengetahui kebutuhan, pengetahuan dan perasaan klien tentang masalah yang dihadapi dan latar belakangnya. Identifikasi effek dari masalah terhadap klien dan hal lain.
U : Uraikan : Uraikan dan tawarkan informasi umum mengenai alternative pemecahan masalah untuk pengambilan keputusan.
TU : Bantu klien untuk mengambil keputusan yang diinginkan. Beri waktu dan dorong klien untuk berpendapat.
J : Jelaskan secara rinci mengenai alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih klien, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dihadapi. Ajukan pertanyaan apakah klien sudah mengerti apa yang disampaikan agar bisa membuat keputusan tanpa tekanan.
U : Rencanakan kunjungan ulang atau rujuk ketempat pelayanan konseling bila diperlukan.








BAB III
KESIMPULAN
            Dari beberapa penelitian menyebutkan setiap tahun terjadi peningkatan yang signifikan terhadap sex bebas khususnya di Indonesia. Maka perlu adanya pembekalan seksualitas untuk para remaja agar mereka lebih paham terhadap seksualitas dimulai dari dampak serta bagaimana yang seharusnya mereka lakukan. Dari beberapa metode penyuluhan dan dari hasil penelitian menunjukan bahwa metode diskusi kelompok dalam melakukan penyuluhan kesehatan reproduksi pada remaja dan sexsualitas untuk mencapai hasil yang optimal. Untuk itu sebagai penyuluh / konselor kita harus sigap dan menggali materi-materi yang berkenaan dan lebih aktif memberikan penyuluhan terhadap para remaja agar dampak-dampak seksualitas bisa terpecahkan. Bahkan kita harus mulai penyuluhan ini terhadap anak SD yang mulai menginjak tingkat pubertas sehingga mereka bisa tahu lebih dini bahanya serta cara pencegahannya.
Selain itu konseling sebaya sangat penting bagi remaja, karena Konseling teman sebaya dipandang penting karena berdasarkan pengamatan penulis sebagian besar remaja lebih sering membicarakan masalah-masalah mereka dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua, pembimbing, atau guru di sekolah. Untuk masalah yang dianggap sangat seriuspun mereka bicarakan dengan teman sebaya (sahabat). Kalaupun terdapat remaja yang akhirnya menceritakan masalah serius yang mereka alami kepada orang tua, pembimbing atau guru, biasanya karena sudah terpaksa (pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan buntu). Hal tersebut terjadi karena remaja memiliki ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya yang sangat kuat. Remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka dan mereka yakin bahwa hanya sesama merekalah remaja dapat saling memahami. Keadaan yang demikian sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok yang eksklusif. Fenomena ini muncul sebagai akibat dari berkembangnya karakteristik personal fable yang didorong oleh perkembangan kognitif dalam masa formal operations (Steinberg, 1993; Santrock, 2004). Keeratan, keterbukaan dan perasaan senasib di antara sesama remaja dapat menjadi peluang bagi upaya memfasilitasi perkembangan remaja. Pada sisi lain, beberapa karakteristik psikologis remaja (emosional, labil) juga merupakan tantangan bagi efektivitas layanan konseling teman sebaya.








BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Juke R. Siregar. (2003). Mengembangkan Daya Lentur Pada Anak dan Remaja. Buletin Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia Volume 3, Maret 2003.
Ø  Kan, P.V. (1996). Peer Counseling in Explanation. [Online]. Tersedia: http://www.peercounseling.com. Akses 22 Agustus 2006.
Ø  Suwarjo, (2008). Model Konseling Teman Sebaya Untuk Pengembangan Daya Lentur (Resilience): Studi Pengembangan Model Konseling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Ø  Winfield, L.F. (1994). NCREL Monograph : Developing Resilience in Urban Youth. [Online]. Tersedia: http://www.ncrel.org. Akses 8 Agustus 2006.
Ø  Web online BKKBN. http://ceria.bkkbn.go.id/