BUDAYA
SUNDA
A.
Arti
kata “SUNDA”
Pemaparan
dari Edi S. Ekadjati dalam pidato
pengukuhan jabatan guru besarnya yang berjudul Sunda, Nusantara, dan Indonesia Suatu
Tinjauan Sejarah (1995:3–4) .
Secara
historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama
yang menyebut Sunda sebagai nama tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis
sekitar tahun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda
yang terletak di sebelah timur India (Atmamihardja, 1958: 8). Kiranya
berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa
kemudian menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang
terletak di sebelah timur India. Ahli geologi Belanda R.W. van Bemmelen
menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai
suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian
tenggaranya dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh
sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang
panjangnya sekitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama,
yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang
sepanjang Lautan Pasifik bagian barat dan (2) bagian selatan yang terbentang
dari barat ke timur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku
bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung
Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3). Selanjutnya,
sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan
menggunakan istilah Sunda pula, yakni Kepulauan Sunda Besar
dan Kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan
Sunda Besar ialah himpunan pulau yang berukuran besar yang terdiri atas
pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda
Kecil merupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba,
Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudian istilah Sunda Besar dan Sunda
Kecil tidak dipakai lagi dalam percaturan ilmu bumi Indonesia.
Menurut
Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata
asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund
atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai
pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289).
Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan
pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat,
waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter,
1928: 219).
Menurut
Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata suddha dalam bahasa
Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat
Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang
berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah
barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada
wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama
Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diinspirasi oleh nama sebuah
kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara
kota pelabuhan Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda
dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan
Pajajaran, sekitar Kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui
berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasasmita
dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadininingrat, 1913: 75).
Adapun
arti kata sunda secara leksikografis/etimologis, R. Mamun Atmamihardja dalam
bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan
pada berbagai kamus bahasa, yaitu:
a.
Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
· Sunda dari akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
· Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
· Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
· Sunda dari akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
· Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
· Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa
Sunda;
· Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
· Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
· Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg,
· Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
· Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
· Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg,
juga R.P Koesoemadinata, 1959).
b.
Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
· Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
· Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
· Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
· Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
· Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
· Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
· Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
· Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
c.
Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
· Sunda berarti “tersusun “ maknanya tertib;
· Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
· Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
· Sunda, dari kata “unda” atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
· Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
· Sunda berarti “tersusun “ maknanya tertib;
· Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
· Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
· Sunda, dari kata “unda” atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
· Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini
adalah semakin
berkualitas.
d.
Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
· Sunda, dari kata “saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti bagus;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti unggul;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti senang;
· Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
· Sunda, dari kata “sundara”, berarti lelaki yang tampan;
· Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
· Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
· Sunda berarti indah.
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
· Sunda, dari kata “saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti bagus;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti unggul;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti senang;
· Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
· Sunda, dari kata “sundara”, berarti lelaki yang tampan;
· Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
· Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
· Sunda berarti indah.
B.
Makna
tentang KABAYAN
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa struktur cerita Si Kabayan umumnya sederhana baik
dari segi alur, tokoh, dan latar. Transformasi yang terjadi berupa ekspansi dan
konversi. Proses penciptaannya didasari oleh skema. Maknanya umumnya tentang
kearifan menghadapi hidup. Fungsinya, umumnya berkaitan dengan pengesahan
kebudayaan, alat pemaksa belakunya norma-norma sosial, dan alat pengendali
sosial, alat pendidikan, hiburan, memprotes ketidak adilan dalam masyarakat.
Secara umum makna cerita-cerita Si Kabayan itu
adalah upaya mengarifi kehidupan. Kehidupan manusia itu dihadapkan pada
keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi, keterbatasan-keterbatasan itu selalu
berada pada bingkai ketakterbatasan Tuhan. Secara rinci makna masing-masing
teks sebagai berikut.
Teks pertama berkenaan dengan persoalan bahwa
manusia „dewasa‟ itu seharusnya memiliki arah/tujuan hidup yang jelas.
Kejelasan itu membuatnya tidak mudah tersesat.
Teks kedua berkenaan dengan persoalan
hendaknya kita tidak mudah tertipu oleh keadaan tertentu. Oleh karena itu,
dituntut kejelian memandang sesuatu. Kejelian itu akan membuat kita berada pada
rentangan antara kikir dan murah.
Teks ketiga berkaitan dengan bahwa „mencintai‟
itu cukup „sekedarnya‟. Oleh karena itu, kita tidak boleh berlebihan. Ketika
berlebihan kita akan terbentur pada keterbatasan kita sebagai manusia yang
bermuara pada ketakterbatasan Tuhan.
Teks keempat berkaitan dengan kebiasaan
manusia yang suka membesar-besarkan persoalan. Kebiasaan itu biasanya didorong
oleh ketakutan yang berlebihan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah
menghadapi hidup secara realistis.
Teks kelima berkaitan dengan persoalan
kemalasan manusia. Kemalasan ini mudah mendorong manusia memperdayai manusia
lainnya.
Teks keenam berkaitan dengan persoalan
keiklasan kita dalam menjalani kehidupan. Keiklasan itu akan membawa kita hidup
lebih proposional. Keiklasan juga akan membantu kita menyadari keterbatasan
manusia dan ketakterbatasan Tuhan.
Teks ketujuh berkaitan dengan persoalan
kehati-hatian dalam menjalani hidup. Hidup tidak boleh dijalani penuh ketakutan
atau juga menganggap enteng hidup. Hidup di antara kedua ekstrim tadi.
Teks kedelapan berkaitan dengan persoalan
kekuasaan yang cenderung korup. Siapapun ketika memegang kekuasaan akan
cenderung menyalahgunakan kekuasaannya itu, termasuk orang-orang yang semula
tertindas oleh kekuasaan.
Teks kesembilan berkaitan dengan persoalan
ketulusan dalam menjalani hidup. Jika kita tulus, kita akan cenderung lebih
proposional dalam hidup. Ketulusan juga akan cenderung membawa kita pada upaya
menjaga fitrah hidup.
Teks kesepuluh berkaitan dengan persoalan
pengendalian diri manusia. Pengendalian diri ni sebenarnya sejalan dengan
fitrah manusia.
Fungsi cerita Si Kabayan yang paling menonjol adalah
sebagai alat pendidikan dan sebagai hiburan. Bisa dipahami, fungsi pendidikan
ini menonjol karena terutama dalam konteks penuturan cerita Si Kabayan selalu
dikaitkan dalam situasi pendidikan atau dalam konteks pendidikan. Cerita Si
Kabayan sering dituturkan oleh guru/ustad/orang tua untuk „mengajarkan‟
sesuatu. Untuk kepentingan itulah terutama cerita-cerita Si Kabayan dituturkan.
Fungsi kedua yang menonjol adalah fungsi hiburan.
Tidak bisa dipungkiri siapapun yang mendengar/membaca cerita Si Kabayan akan
terhibur. Fungsi hiburan ini sesungguhnya adalah fungsi dasar cerita Si Kabayan
ini. Baru kemudian fungsi didaktis tadi.
Fungsi berikutnya adalah sebagai pengesahan
kebudayaan. Cerita-cerita Si Kabayan yang ada „seolah-olah‟ mengesahkan
perilaku tertentu. Perilaku-perilaku itu berkaitan dengan aspek
kebudayaan-kebudayaan tertentu.
Fungsi lainnya adalah pemaksa berlakunya norma-norma
sosial, pengendali sosial. Misalnya berkaitan dengan bagaimana seorang suami
harus berperilaku sebagai suami yang baik.
Terakhir adalah fungsi memprotes ketidakadilan yang
terjadi di masyarakat. Fungsi ini terutama diemban oleh cerpen “Gual-guil”.
Teks ini seolah-olah memprotes kekuasaan yang disalahgunakan secara sewenang-wenang.
Agar lebih jelas perhatikan bagan berikut.
Tabel
Fungsi Cerita Si Kabayan
|
No
|
Fungsi
Judul Cerita
|
Pengesahan Kebudayaan
|
Alat Pemaksa/
Pengendali sosial
|
Alat Pendidikan
|
Hiburan
|
Protes
|
1.
|
Si
Kabayan Ngala Nangka
|
|
|
|
|
-
|
2.
|
Si
Kabayan Mayar Hutang
|
|
|
|
|
-
|
3.
|
Si
Kabayan Maling Kalapa
|
|
-
|
|
|
-
|
4.
|
Si
Kabayan Ngala Tutut
|
|
|
|
|
-
|
5.
|
Ulah
Kabayan
|
-
|
-
|
|
-
|
-
|
6.
|
Si
Kabayan Jadi Sufi
|
|
|
|
|
-
|
7.
|
Si
Kabayan Dan Iteung Tersayang
|
-
|
-
|
|
|
-
|
8.
|
“Gual-guil”
|
-
|
-
|
-
|
|
|
9.
|
Guru
Kabayan
|
-
|
-
|
|
|
-
|
10.
|
Si
Kabayan Bola Cinta
|
-
|
-
|
|
|
-
|
C.
Filosofis
lagu CINGCANGKELING
Cing cangkeling
Manuk cingkleung cineten
Blos ka kolong
Bapa satar bulendeung
Manuk cingkleung cineten
Blos ka kolong
Bapa satar bulendeung
Gubahan Syair lagu di atas sangat tak asing bagi masyarakat
Sunda. Karena syair ini adalah salah satu lagu rakyat yang sering dinyanyikan
oleh orang sunda dari dulu hingga sekarang. Walau sekarang ini sudah sangat
tersaingi oleh lagu-lagu yang bernuansa ‘Lebaisme Cinta’
Syair lagu ‘Cing cangkeling’ yang terlihat seperti syair
tanpa makna, dan hanya sebatas guyonan belaka, ternyata memiliki kedalaman
makna yang luar biasa tentang ketenangan jiwa. Entah siapa yang menggubah syair
lagu ini. Tapi yang penting bukan siapa pembuatnya, melainkan apa pesan yang
diselipkan oleh si penggubah syair ‘Cing cangkeling’.
Suatu malam saya membaca sebuah buku berjudul ‘Tapak Sabda’.
Sebuah novel filsafat yang dikarang oleh seorang pemuda bernam,a Fauz Noor.
Saat membaca buku itu, saya terperanjat ketika membaca salah satu halamannya
yang ‘Ngaguar’ makna syair lagu ‘Cing cangkeling’. dan saya ingin mengutip
kembali pembahasan buku itu tentang lagu tersebut, tanpa saya rubah sedikit pun
struktur kalimatnya.
“Cing cangkeling, cing-cing eling manusia semua.
Manuk (Burung) bisa digunakan sebagai perlambang hati. apa sebabnya? sebab hati
seperti manuk yang bisa terbang kemana saja semau dirinya. Silahkan kamu
rasakan sendiri. Hati kita bisa terbang ke Jakarta umpamanya. Hati tak bisa
dipenjara oleh apa pun, walau pun orang yang sedang dipenjara. Apakah hati
orang yang dipenjara selalu ada di penjara? tidak.! sering hati mereka ada
dirumah, rindu anak istri. Manuk cingkleung cineten, hati yang suka
melirik-lirik ke sekitarnya itu harus tenang. Kalu hati sudah tenang, hati akan
masuk ke kolong langit. Blos ka kolong, dan akan mendapatkan Bapa
satar. Satar artinya dunia. satar berasal dari bahasa sunda kuno, artinya
rendah. Silahkan tanya Kiai, dalam bahasa Arab dunia artinya rendah, adyan.
Jadi, satar jeung dunia merupakan kata yang maksudnya sama. Kalau hati kita
sudah tenang, maka kita akan mendapat dunia yang Bulendeung, yaitu
penuh rahmat dan berkah Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar