Selasa, 20 September 2011

BUDAYA SUNDA

BUDAYA SUNDA
A.    Arti kata “SUNDA”
Pemaparan dari  Edi S. Ekadjati dalam pidato pengukuhan jabatan guru besarnya yang berjudul Sunda, Nusantara, dan Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah (1995:3–4) .
Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang menyebut Sunda sebagai nama tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar tahun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India (Atmamihardja, 1958: 8). Kiranya berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa kemudian menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang terletak di sebelah timur India. Ahli geologi Belanda R.W. van Bemmelen menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke timur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3). Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula, yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau yang berukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudian istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi dalam percaturan ilmu bumi Indonesia.
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).
Menurut Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata suddha dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diinspirasi oleh nama sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota pelabuhan Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar Kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasasmita dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadininingrat, 1913: 75).
Adapun arti kata sunda secara leksikografis/etimologis, R. Mamun Atmamihardja dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan pada berbagai kamus bahasa, yaitu:
a.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
·         Sunda dari  akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
·         Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
·         Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa
          Sunda;
·         Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
·         Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
·         Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, 
            juga R.P Koesoemadinata, 1959).
b.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
·         Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
·         Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
·         Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
·         Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
c.       Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
·         Sunda berarti “tersusun “ maknanya  tertib;
·         Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
·         Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
·         Sunda, dari kata “unda” atau  “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
·         Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini
           adalah  semakin  berkualitas.
d.      Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
·         Sunda, dari kata “saunda”,  berarti lumbung, bermakna subur makmur;
·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti bagus;
·         Sunda,  dari kata “sonda”,  berarti unggul;
·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti senang;
·         Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
·         Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
·         Sunda, dari kata “sundara”,  berarti lelaki yang tampan;
·         Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
·         Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
·         Sunda berarti indah.
B.     Makna tentang KABAYAN

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur cerita Si Kabayan umumnya sederhana baik dari segi alur, tokoh, dan latar. Transformasi yang terjadi berupa ekspansi dan konversi. Proses penciptaannya didasari oleh skema. Maknanya umumnya tentang kearifan menghadapi hidup. Fungsinya, umumnya berkaitan dengan pengesahan kebudayaan, alat pemaksa belakunya norma-norma sosial, dan alat pengendali sosial, alat pendidikan, hiburan, memprotes ketidak adilan dalam masyarakat.
Secara umum makna cerita-cerita Si Kabayan itu adalah upaya mengarifi kehidupan. Kehidupan manusia itu dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi, keterbatasan-keterbatasan itu selalu berada pada bingkai ketakterbatasan Tuhan. Secara rinci makna masing-masing teks sebagai berikut.
Teks pertama berkenaan dengan persoalan bahwa manusia „dewasa‟ itu seharusnya memiliki arah/tujuan hidup yang jelas. Kejelasan itu membuatnya tidak mudah tersesat.
Teks kedua berkenaan dengan persoalan hendaknya kita tidak mudah tertipu oleh keadaan tertentu. Oleh karena itu, dituntut kejelian memandang sesuatu. Kejelian itu akan membuat kita berada pada rentangan antara kikir dan murah.
Teks ketiga berkaitan dengan bahwa „mencintai‟ itu cukup „sekedarnya‟. Oleh karena itu, kita tidak boleh berlebihan. Ketika berlebihan kita akan terbentur pada keterbatasan kita sebagai manusia yang bermuara pada ketakterbatasan Tuhan.
Teks keempat berkaitan dengan kebiasaan manusia yang suka membesar-besarkan persoalan. Kebiasaan itu biasanya didorong oleh ketakutan yang berlebihan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah menghadapi hidup secara realistis.
Teks kelima berkaitan dengan persoalan kemalasan manusia. Kemalasan ini mudah mendorong manusia memperdayai manusia lainnya.
Teks keenam berkaitan dengan persoalan keiklasan kita dalam menjalani kehidupan. Keiklasan itu akan membawa kita hidup lebih proposional. Keiklasan juga akan membantu kita menyadari keterbatasan manusia dan ketakterbatasan Tuhan.
Teks ketujuh berkaitan dengan persoalan kehati-hatian dalam menjalani hidup. Hidup tidak boleh dijalani penuh ketakutan atau juga menganggap enteng hidup. Hidup di antara kedua ekstrim tadi.
Teks kedelapan berkaitan dengan persoalan kekuasaan yang cenderung korup. Siapapun ketika memegang kekuasaan akan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya itu, termasuk orang-orang yang semula tertindas oleh kekuasaan.
Teks kesembilan berkaitan dengan persoalan ketulusan dalam menjalani hidup. Jika kita tulus, kita akan cenderung lebih proposional dalam hidup. Ketulusan juga akan cenderung membawa kita pada upaya menjaga fitrah hidup.
Teks kesepuluh berkaitan dengan persoalan pengendalian diri manusia. Pengendalian diri ni sebenarnya sejalan dengan fitrah manusia.
Fungsi cerita Si Kabayan yang paling menonjol adalah sebagai alat pendidikan dan sebagai hiburan. Bisa dipahami, fungsi pendidikan ini menonjol karena terutama dalam konteks penuturan cerita Si Kabayan selalu dikaitkan dalam situasi pendidikan atau dalam konteks pendidikan. Cerita Si Kabayan sering dituturkan oleh guru/ustad/orang tua untuk „mengajarkan‟ sesuatu. Untuk kepentingan itulah terutama cerita-cerita Si Kabayan dituturkan.
Fungsi kedua yang menonjol adalah fungsi hiburan. Tidak bisa dipungkiri siapapun yang mendengar/membaca cerita Si Kabayan akan terhibur. Fungsi hiburan ini sesungguhnya adalah fungsi dasar cerita Si Kabayan ini. Baru kemudian fungsi didaktis tadi.
Fungsi berikutnya adalah sebagai pengesahan kebudayaan. Cerita-cerita Si Kabayan yang ada „seolah-olah‟ mengesahkan perilaku tertentu. Perilaku-perilaku itu berkaitan dengan aspek kebudayaan-kebudayaan tertentu.
Fungsi lainnya adalah pemaksa berlakunya norma-norma sosial, pengendali sosial. Misalnya berkaitan dengan bagaimana seorang suami harus berperilaku sebagai suami yang baik.
Terakhir adalah fungsi memprotes ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Fungsi ini terutama diemban oleh cerpen “Gual-guil”. Teks ini seolah-olah memprotes kekuasaan yang disalahgunakan secara sewenang-wenang. Agar lebih jelas perhatikan bagan berikut.

Tabel Fungsi Cerita Si Kabayan

No
Fungsi
Judul Cerita
Pengesahan Kebudayaan
Alat Pemaksa/
Pengendali sosial
Alat Pendidikan
Hiburan
Protes
1.
Si Kabayan Ngala Nangka
-
2.
Si Kabayan Mayar Hutang
-
3.
Si Kabayan Maling Kalapa
-
-
4.
Si Kabayan Ngala Tutut
-
5.
Ulah Kabayan
-
-
-
-
6.
Si Kabayan Jadi Sufi
-
7.
Si Kabayan Dan Iteung Tersayang
-
-
-
8.
“Gual-guil”
-
-
-
9.
Guru Kabayan
-
-
-
10.
Si Kabayan Bola Cinta
-
-
-



C.    Filosofis lagu CINGCANGKELING
Cing cangkeling
Manuk cingkleung cineten
Blos ka kolong
Bapa satar bulendeung
Gubahan Syair lagu di atas sangat tak asing bagi masyarakat Sunda. Karena syair ini adalah salah satu lagu rakyat yang sering dinyanyikan oleh orang sunda dari dulu hingga sekarang. Walau sekarang ini sudah sangat tersaingi oleh lagu-lagu yang bernuansa ‘Lebaisme Cinta’
Syair lagu ‘Cing cangkeling’ yang terlihat seperti syair tanpa makna, dan hanya sebatas guyonan belaka, ternyata memiliki kedalaman makna yang luar biasa tentang ketenangan jiwa. Entah siapa yang menggubah syair lagu ini. Tapi yang penting bukan siapa pembuatnya, melainkan apa pesan yang diselipkan oleh si penggubah syair ‘Cing cangkeling’.
Suatu malam saya membaca sebuah buku berjudul ‘Tapak Sabda’. Sebuah novel filsafat yang dikarang oleh seorang pemuda bernam,a Fauz Noor. Saat membaca buku itu, saya terperanjat ketika membaca salah satu halamannya yang ‘Ngaguar’ makna syair lagu ‘Cing cangkeling’. dan saya ingin mengutip kembali pembahasan buku itu tentang lagu tersebut, tanpa saya rubah sedikit pun struktur kalimatnya.
Cing cangkeling, cing-cing eling manusia semua. Manuk (Burung) bisa digunakan sebagai perlambang hati. apa sebabnya? sebab hati seperti manuk yang bisa terbang kemana saja semau dirinya. Silahkan kamu rasakan sendiri. Hati kita bisa terbang ke Jakarta umpamanya. Hati tak bisa dipenjara oleh apa pun, walau pun orang yang sedang dipenjara. Apakah hati orang yang dipenjara selalu ada di penjara? tidak.! sering hati mereka ada dirumah, rindu anak istri. Manuk cingkleung cineten, hati yang suka melirik-lirik ke sekitarnya itu harus tenang. Kalu hati sudah tenang, hati akan masuk ke kolong langit. Blos ka kolong, dan akan mendapatkan Bapa satar. Satar artinya dunia. satar berasal dari bahasa sunda kuno, artinya rendah. Silahkan tanya Kiai, dalam bahasa Arab dunia artinya rendah, adyan. Jadi, satar jeung dunia merupakan kata yang maksudnya sama. Kalau hati kita sudah tenang, maka kita akan mendapat dunia yang Bulendeung, yaitu penuh rahmat dan berkah Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar